Dalam kehidupan sosial politik masyarakat, perempuan sering ditempatkan pada posisi marginal dan termarginalkan. Perempuan tidak mendapatkan tempat selayaknya yang juga merupakan manusia ciptaan Tuhan yang secara hakiki perlu mendapatkan perlakuan sama dengan kaum laki-laki. Bahkan parahnya lagi, perempuan sering kali menjadi obyek eksploitasi dan kriminalisasi ketika terjun kedalam dunia kerja karena perempuan selalu saja dipandang bahwa ruang lingkup kerjanya hanya pada sektor domestik semata sedangkan laki-lakilah yang berada pada sektor publik. Konstruksi sosial yang patriarki inilah yang coba ditata ulang dalam konteks politik kita di Indonesia sehingga bermunculan gerakan massif untuk membela hak-hak perempuan yang didukung oleh gagasan tentang kesetaraan gender. Gerakan-gerakan kesetaraan gender mencoba untuk mensejajarkan posisi perempuan dengan laki-laki serta berupaya untuk merubah paradigma masyarakat yang cenderung patriarki.
Kesetaraan
gender berkembang tidak hanya terbatas pada dunia kerja semata
melainkan telah merasuk
sampai pada tataran politik baik di tingkat pusat dan daerah. Dalam konteks
pilkada serentak yang berlangsung selama ini dan Pemilihan Anggota Legislatif (pileg) serta Pemilihan Presiden, bisa menjadi bahan pembanding apakah benar
perempuan telah mendapatkan posisi sebagaimana keinginan dari para pejuang
gender atau belum apalagi setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang
memuat kebijakan yang mengharuskan Partai Politik (Parpol) menyertakan
keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam kepengurusan di
tingkat pusat dan daerah serta pencalonan dalam pileg.
Masih sangat relevan dengan kondisi perpolitikan kita sekarang dengan apa yang dikhawatirkan oleh Itji Diana Daud sebagaimana gagasannya di Harian Fajar
tanggal 30 Juli 2015. Beliau menulis sebuah esai dengan judul “perempuan dan pilkada”. Itji
menilai bahwa keterlibatan perempuan dalam pertarungan untuk memimpin di berbagai
daerah lewat pilkada serentak utamanya di Sulawesi Selatan masih sangat rendah. Hal terbukti ketika pilkada serentak yang dilaksanakan di tahun 2018. Rakyatku News mengungkapkan bahwa dari 29 pasangan calon yang bertarung dalam kontekstasi pilkada serentak yang digelar di 13 daerah kabupaten kota, hanya ada enam kandidat dari kalangan perempuan. Lain halnya dengan Pemilihan Legistif tahun 2019 sekarang ini, meskipun partai politik peserta pemilu telah berhasil memenuhi syarat pencalonan perempuan sampai 37 persen yakni 453 orang perempuan dari 1.196 calon anggota legislatif tentu angka ini masih sangat kecil karena yang terpenuhi hanya sebatas standar minimal saja.
Hal ini adalah sebuah jawaban bahwa dominasi kaum laki-laki dalam konteks pilkada serentak khususnya di Sulawesi Selatan belum dapat diruntuhkan oleh para pejuang gender. Artinya, perjuangan kesetaraan gender belum mampu merubah paradigma para elit politik yang patriarki. Atau mungkin belum adanya kekompakan dari kaum perempuan itu sendiri dalam politik. Jika hal ini nyatanya betul, jangan-jangan kaum perempuan itu sediri yang berparadigma patriarki .
Hal ini adalah sebuah jawaban bahwa dominasi kaum laki-laki dalam konteks pilkada serentak khususnya di Sulawesi Selatan belum dapat diruntuhkan oleh para pejuang gender. Artinya, perjuangan kesetaraan gender belum mampu merubah paradigma para elit politik yang patriarki. Atau mungkin belum adanya kekompakan dari kaum perempuan itu sendiri dalam politik. Jika hal ini nyatanya betul, jangan-jangan kaum perempuan itu sediri yang berparadigma patriarki .
Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang aktivis
perempuan, Itji ingin
mengungkapkan perlawanannya kepada mitos dominasi
patriarki yang selama ini masih bercokol dalam paradigma masyarakat Indonesia
khususnya di Sulawesi Selatan. Itji masih sangat yakin bahwa masih sangat
banyak perempuan yang mempunyai kapabilitas untuk memimpin, menjadi pembaharu, mengakomodasi
perbagai kepentingan publik demi kesejahteraan bersama, tetapi belum sepenuhnya diberi
kesempatan oleh elit partai politik.
Itji juga mengkritik beberapa perempuan yang enggan di calonkan oleh partai politik padahal punya kapabilitas yang mumpuni. Keengganan
tersebut juga menjadi pemicu dan menjadi andil rendahnya keterlibatan perempuan
dalam kontekstasi politik lokal. Dalam hal ini elit politik dan parpol tidak
dapat disalahkan sepenuhnya karena fungsi kaderisasi partai politik telah
dijalankan namun amanah partai belum direspon baik oleh kadernya dari kalangan
perempuan.
Melalui tulisannya, Itji juga menjawab pertanyaan yang
mungkin ada disetiap benak para laki-laki dan kaum perempuan itu sendiri bahwa apa urgensi keterlibatan perempuan dalam
kontekstasi pilkada ?. Itji berargumen bahwa keberadaan perempuan dalam
pilkada bukan semata karena perebutan kursi pimpinan daerah semata, melainkan
itu adalah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dan subordinasi menuju terbangunnya
kesetaraan gender di semua lini kehidupan. Dari itu, kaum laki-laki tidak boleh
lagi memandang sebelah mata kaum perempuan.
Itji juga menyadari bahwa posisi perempuan yang belum
sepenuhnya diperhitungkan itu, membutuhkan waktu untuk berproses, menyusun
kekuatan untuk melakukan penyadaran kembali bahwasanya calon laki-laki bukanlah
jaminan menjadi pemimpin yang baik, begitu pula sebaliknya calon perempuan bisa
jadi lebih baik dari calon laki-laki, sebagaimana telah dibuktikan oleh
walikota Surabaya – Tri Rismayani. Motivasi lain dari tulisannya adalah perempuan
harus berbenah diri, harus menunjukkan karya nyata dan meningkatkan prestasi
dibidangnya masing-masing, sehingga secara alamiah paradigma patriarki itu tumbang.
Namun perlu kiranya dipertegas sampai dimana batasan kepemimpinan
perempuan itu. Jangan sampai yang tercapai adalah kesetaraan yang kebablasan yang membawa bencana katalismik dalam kancah politik lokal kita sebagaimana bencana katalismik yang pernah terjadi pada abad pertengahan dimana laki-lakilah yang mengerjakan pekerjaan perempuan dan perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki. Laki-laki semakin terkungkung dan ingin bebas dari dari ikatan itu sehingga laki-lakipun melakukan perlawanan fisik yang memang kodratnya lebih kuat dibandingkan dengan perempuan.
Paling tidak ada tiga gejala yang perlu diantisipasi sebelum munculnya bencana katalismik ini. Pertama; Keterlibatan perempuan dalam kancah politik jangan sampai hanya sebagai subsitusi kesibukan untuk menghindarkan diri dari tugas domestiknya sehingga kadang kala peran-peran domestik itu dimandatkan kepada pembantu rumah tangga dan atau babysister. Kedua; Keterlibatan perempuan dalam politik jangan sampai sebatas pemenuhan tuntutan regulasi affiermative action bagi partai politik peserta pemilu sehingga kontekstasi terkesan lebih demokratis sekaligus untuk menghindari stigma dalam kaca mata pergaulan internasional. Kepesertaan perempuan dalam politik dicurigai hanya sebatas syarat pelengkap sehingga konsekuensinya selama ini tingkat keterpilihan perempuan masih sangat rendah bahkan menurun. Berdasarkan penelusuran Kompas.com, jumlah caleg perempuan terpilih pada periode 2015-2019 hanya sebanyak 97 orang atau setara 17,32 persen sementara pada periode sebelumnya 2009-2014 angka caleg perempuan sampai 101 orang atau setara 18,03 persen dari 560 kursi DPR. Akan menjadi tantangan sekaligus ujian berat lagi ditahun politik 2019 ini khususnya di Sulawesi Selatan, mengingat hasil rilis KPU daerah Sulawesi Selatan jumlah pemilih perempuan sebanyak 3.086.779 (52 persen) sedangkan pemilih laki-laki 2.898.073 (48 persen). Akankah angka ini berbanding lurus dengan tingkat keterpilahan caleg perempuan pada 17 April mendatang? Kita akan tunggu hasilnya.
Ketiga; kebencian permanen kaum perempuan atau pejuang gender terhadap laki-laki karena terpapar paham feminisme radikal. Secara historis paham ini pernah muncul pada tahun 1960-an di dunia Barat sebagai reaksi atas struktur sosial yang cenderung patriarki dimana perempuan selalu menjadi obyek kekerasan dan penindasan oleh kaum laki-laki dan selalu saja laki-laki dipandang sebagai "pemorkosa" atas perempuan.
Pada akhirnya, jangan sampai bencana katalismik yang pernah terjadi di abad pertengahan tersebut
kembali muncul di era millenium ini dengan wajah baru pula. Sifat kedaerahan gender laki-laki dan gender perempuan
berbeda sangat jauh. Yang sama adalah fakta bahwa ada keterkaitan timbal balik
yang sifatnya komplementer, saling melengkapi antara keberadaan laki-laki dan
perempuan. Laki-laki dan perempuan tidak bisa ditempatkan pada oposisi biner
yang memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang berkompetisi
sehingga yang lain menang dan yang lain lagi kalah. Menempatkan antara kaum
laki-laki dan kaum perempuan pada oposisi biner saling berhadap-hadapan akan melahirkan konstruksi hubungan yang tidak simetris.
Laki-laki dan
perempuan punya hak yang sama dalam politik, olehnya itu berikan hak itu dan
gunakan hak itu dengan selayaknya. Persoalan siapa yang memimpin adalah kehendak rakyat yang
memilih sesuai dengan kapabilitas dan kompetensinya. Hanya saja perlu kehati-hatian dalam menempatkan peran laki-laki dan perempuan dalam politik karena jangan
sampai kita tejebak dalam bencana katalismik.
Wallahu
a’lam bissawab.RIWAYAT PENULIS
Penulis : Ahmad Abni
No. Tlp /HP : 081343718586 / 085395260360
Pekerjaan : Pendidik pada MTs Negeri Bantaeng
E-Mail : abni21ajeng29@gmail.com
Alamat : BTN Griya Praja Wibawa Lembang Loe Bissappu
Bantaeng
2 komentar:
Izin sharee Pak Ahmad Abni
Semoga bermanfaat
Posting Komentar