PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN; Dalam Tinjauan Bela Negara Menurut UU No. 3 Tahun 2002
Oleh ; Ahmad
Abni, S.Pd
(Guru PKn pada
MTS Negeri Gantarang Kab. Bantaeng)
Bangsa
yang berdaulat adalah bangsa yang merdeka dari segala bentuk penjajahan,
tekanan dan intimidasi dari Negara lain, baik dari penjajahan secara
politik-pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, tekhnologi dan sebagainya.
Berdaulat sepenuhnya berarti bukan hanya sebatas mampu bebas dari tekanan dan
intimidasi sebagaimana disebutkan diatas, akan tetapi bagaimana seluruh warga
Negara memperlakukan negaranya sendiri setelah bebas demi tercapainya perubahan
dan kemajuan.
Pada
hakekatnya semua bangsa dan Negara di dunia menghendaki adanya perubahan dan
kemajuan. Untuk mewujudkan hal tersebut, masing-masing Negara mempunyai
strategi dan cara sendiri. Namun hal yang mestinya menjadi perhatian bagi
setiap Negara yang sementara berkembang dan maju adalah bagaimana negaranya
dapat terlindungi dan terjaga sehingga perubahan dan kemajuan yang diperoleh
selama ini dapat terpelihara dengan baik. Untuk itulah, diperlukan pemahaman
bela Negara yang komprehensip bagi seluruh rakyat.
Dalam
konteks Negara Indonesia, bela Negara merupakan hak dan kewajiban bagi setiap
warga Negara, sebagaimana diatur di dalam konstitusi Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 pasal 27 ayat 3 yang berbunyi;
“setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan Negara”.
Lebih lanjut dalam pasal 30 ayat 1 menyatakan bahwa ;
“tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan Negara”.
Mengingat hal tersebut diatas, maka pemerintah Indonesia senantiasa
memperbaharui regulasi yang berkaitan dengan bela Negara.
Undang-undang
nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan Negara merupakan regulasi terbaru yang
menjadi acuan segenap warga Negara dalam melakukan upaya pembelaan Negara
Indonesia. Pada dasarnya undang-undang ini fokus perhatiannya adalah Tentara
Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan utama pertahanan Negara. Namun hal
yang menarik dari undang-undang ini adalah diberikannya peluang bagi setiap
warga Negara sebagai komponen pendukung dan komponen cadangan untuk turut ambil
bagian dalam upaya Pembelaan Negara.
Dalam pasal 9 ayat 2 disebutkan bahwa keikutsertaan warga negara
dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui:
a.
pendidikan
kewarganegaraan;
b.
pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c.
pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara
sukarela atau secara wajib; dan
d.
pengabdian sesuai dengan profesi
Sejalan
dengan hal tersebut, pembekalan pemahaman bela Negara terhadap generasi muda
bangsa Indonesia juga merupakan tanggung jawab dari lembaga pendidikan formal.
Oleh karena itu meskipun kurikulum senantiasa berubah, mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan tidak pernah hilang dalam setiap struktur kurikulum
mulai dari pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
Pendidikan merupakan upaya strategis dalam pembentukan
sistem nilai yang ada dalam diri seseorang, kaitannya dengan perwujudan harkat
dan martabat sebagai manusia sesuai dengan tatanan kehidupan masyarakat yang
melingkupinya. Dengan perkataan lain pendidikan harus senantiasa di arahkan
pada upaya peningkatan kesadaran dan harkat serta martabat seseorang baik
selaku pribadi, anggota masyarakat maupun sebagai suatu bangsa. Hal lain yang
tidak kalah pentingnya adalah bahwa materi pelajaran yang disampaikan dalam
kurikulum persekolahan tidak semata-mata untuk pengetahuan (intelektual),
melainkan perlu direalisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku nyata
sehari-hari, sesuai dengan hakikat dan potensi manusia itu sendiri yang
bersifat utuh.
Nursid Sumaatmadja menjelaskan bahwa keutuhan manusia itu
bukan hanya pada sosok jasmaninya seperti makhluk hidup lainnya melainkan juga
meliputi aspek akhlak, moral, dan tanggung jawab seperti khalifah dimuka bumi.
Disinilah letak kewajiban keterpaduan antara pendidikan intelektual dengan keterampilan
dan pendidikan umum.
Sebagaimana maksud tersebut diatas maka Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa
Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah serta pendidikan tinggi. Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 37 ayat 1
bahwa “pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebanggan dan cinta tanah air”.
Materi
pelajaran ini berusaha untuk membina perkembangan peserta didik untuk menjadi
warga Negara yang mengetahui dan memahami situasi-kondisi bangsa dan negaranya
yang selanjutnya dapat bertanggung jawab terhadap diri pribadinya, keluarganya,
masyarakatnya, bangsa dan negaranya bahkan tanggung jawabnya sebagai masyarakat
dunia.
Penulis
tertarik untuk menggali hubungan antara pendidikan kewarganegaraan pada jenjang
pendidikan formal dengan pendidikan kewarganegaraan yang dimaksud dalam UU
Nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan Negara utamanya pada pasal 9 ayat 2 poin
(a). Olehnya itu penulis
merumuskan kajian tersebut dengan judul “PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN; Dalam Tinjauan Bela Negara Menurut UU No. 3
Tahun 2002”.
Selayang Pandang Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mata
pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama,
sosio-kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang
cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan
Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai wahana untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia
yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari
peserta didik sebagai individu, anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Menurut Winataputra,
PKn sebagai kajian ilmu kependidikan yang memusatkan perhatian pada
pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis, dan religious serta memiliki
karakteristik yang multi dimensional, perlu dilihat dalam tiga kependudukan. Pertama, PKn sebagai suatu kajian mengenai “civic virtue” dan
“civic culture” yang menjadi landasan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
program kurikuler dan gerakan sosial budaya kewarganegaraan. Kedua, PKn sebagai program kurikuler memiliki visi dan misi
pengembangan kualitas warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius baik
dalam latar pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah, yang berfungsi sebagai
dasar orientasi dari keseluruhan upaya akademis untuk memahami fenomena dan
masalah-masalah sosial secara interdisipliner, sehingga siswa dapat mengambil
keputusan yang jernih dan bernalar serta bermanfaat yang sebesar-besarnya bagi
individu, masyarakat, bangsa dan negara. Ketiga,
PKn sebagai gerakan sosial budaya kewarganegaraan yang sinergistik dilakukan
dalam upaya membangun “civic virtue” dan “civic culture” melalui partisipatif
aktif secara cerdas, demokratis, dan religious dalam lingkungannya.
Secara hisoris
Pendidikan Kewarganegaraan pertama kali muncul sebagai mata pelajaran dalam
pendidikan formal pada tahun 1957 dengan nama Kewarganegaraan (civics).
Materi isi dari mata pelajaran ini hanya sebatas tentang hak dan kewajiban
warga Negara serta bagaimana cara dalam memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Hal
ini disebabkan oleh kondisi bangsa Indonesia saat itu masih belum sepenuhnya
stabil.
Perkembangan
selanjutnya, mata pelajaran ini tentunya sangat dipengaruhi oleh pergumulan
politik yang ada di Indonesia sendiri. Pada tahun 1961 pelajaran kewarganegaraan
berubah menjadi mata pelajaran civics. Perubahan ini dilatari oleh tindak
lanjut keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959 dimana Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan No. 122274/S tanggal 10 Desember 1959
tentang pemebentukan panitia penyusunan buku pedoman mengenai
kewajiban-kewajiban dan hak-hak warga Negara Indonesia, sejarah dan tujuan
revolusi Indonesia. Panitia ini berhasil menyusun buku Manusia dan
Masyarakat Baru Indonesia. Buku inilah yang menjadi acuan dasar dari
pelajaran civics di sekolah-sekolah. Dari segi sajian materinya sudah jauh
lebih luas dari sebelumnya yakni dengan memuat sejarah pergerakan Indonesia,
Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi terpimpin, Konferensi Asia Afrika,
Hak Kewarganegaraan, manifesto politik, laksana malaikat (dekrit presiden),
pidato lahirny Pancasila, pancawardana, hak azasi manusia, dan pidato-pidato
Presiden yang dipaketkan dalam Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (tubapi).
Setelah lahirnya
Orde Baru pada tahun 1966, pelajaran civics berubah menjadi Pendidikan
Kewargaan Negara (PKN). Perubahan ini sepenuhya menafikan materi pelajaran
sebelumnya karena dianggap bahwa materi-materi pelajaran civics sangat tidak
sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan yang ada. Secara formal mata
pelajaran Kewargaan Negara dimasukkan kedalam kurikulum tahun 1968
dengan materinya yakni Pancasila dan UUD 1945 serta Ketetapan-ketetapan MPRS
1966, 1967 dan 1968, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Hak Azasi Manusia
(HAM), serta beberapa materi yang beraspek sejarah, geografi, dan Ekonomi.
Pada tahun 1973
Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan TAP MPR No. IV/MPR/1973 yang
menjadi dasar perubahan selanjutnya. Sebagai amanat dari ketetapan tersebut maka
berakibat berubahnya pelajaran Kewargaan Negara menjadi Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) yang dimuat dalam kurikulum 1975. Pokok kajiannya
sangat dominan membahasa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
yang dikenal dengan singkatan P-4. Indoktrinasi P-4 berlangsung cukup lama
bahkan telah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui pendidikan
formal. Perubahan kurikulum tahun 1975 menjadi kurikulum 1984, mata pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) masih tetap dipertahankan
Berlakunya Undang-undang
Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional diperkenakanlah mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang merupakan
persiapan untuk diberlakukan secara formal di perubahan kurikulum 1994. Sebagaimana
disebutkan pada pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan
jejang pendidikan di Indonesia Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan. Pada hakekatnya substansi Pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Kewarganegaraan memiliki arah yang sama oleh karenanya digabung dan lahirlah dengan nama Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn).
Perubahan ini
didasari oleh pemikiran bahwa indoktrinasi nilai-nilai Pancasila
disekolah-sekolah dan penataran P-4 di masyarakat belum sepenuhnya memuaskan. Terlebih
lagi pola pemikiran masyarakat Indonesia yang telah menunjukkan adanya kesadaran
akan hak politiknya. Setelah kurikulum 1994 diberlakukan secara sah, Mata
Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mulai diajarkan di
sekolah-sekolah.
Perkembangan
selanjutnya materi P-4 tidak lagi menjadi muatan utama dalam suplemen kurikulum
tahun 1999 setelah dicabutnya ketetapan MPR No. II/MPR/1978. Materi muatan
pelajaran PPKn lebih cenderung ingin menanamkan konsep nilai-nilai Pancasila
melalui pemahaman terhadap butir-butir setiap sila Pancasila. Bahkan lebih dari
sekedar penanaman melalui pemahaman, butir-butir dari sila Pancasila harus bisa
menjadi pedoman berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menjadi dasar
yuridis perubahan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) menjadi Pendidikan Kewarganegraan (PKn) pada kurikulum 2004.
Dalam
pelaksanaannnya di sekolah-sekolah sering sekali terjadi kesalahan dalam
penulisan singkatan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Kesalahan ini secara
sering dilakukan tampa disadari. Sering kali Pendidikan Kewarganegaraan
disingkat dengan tulisan PKN atau KWN yang seharusnya singkatan yang benar
adalah PKn. Sementara ada perbedaan mendasar antara singkatan “PKN” dengan
“PKn”.
Pendidikan
Kewargaan Negara (PKN) identik dengan istilah civic/warga negara,
yaitu mata pelajaran yang bertujuan membentuk atau membina kewarganegara yang
baik, warga Negara yang tahu, mau sadar akan hak dan kewajibannya. Hal ini
dapat diwujudkan dalam bentuk sikap, prilaku dan perbuatan yang baik.
Menurut
Penulis, istilah PKN lebih merujuk kepada Pendidikan Kewargaan Negara
(PKN). Sementara istilah PKN hanya pernah berlaku pada kurikulum tahun 1968
yang tentunya berbeda dengan kurikulum 2004. Istilah PKN yang secara teknis
diartikan sebagai status formal warga Negara sedangkan istilah PKn dapat
diartikan menjadi hal-hal yang berkenaan dengan Warga Negara, yang tentunya
termasuk status formal warga Negara disamping itu dapat juga diartikan sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
warga Negara warga agar menyadari akan hak dan kewajibannya. Hal ini dapat
diwujudkan dalam bentuk sikap, prilaku dan perbuatan yang baik.
Posisi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam UU No. 3 tahun 2002
Penanaman
nilai-nilai Bela Negara yang diselenggarakan pada jalur formal melalui mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki posisi yang trategis, karena pada
umumnya pendidikan
formal dapat mempengaruhi sikap siswa yang masih polos.
Pelajaran
pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang paling relevan untuk
dikembangkan dalam mengintegrasikan nilai-nilai Bela Negara. Penanaman
nilai-nilai Bela Negara pada masa remaja, merupakan upaya membangun dan membentuk
sistem nilai, sikap dan perilaku generasi muda. Dengan demikian diharapkan
tercipta generasi yang memiliki jati diri, kepribadian dan berkarakter yang
tangguh, sebagai pembentuk kepribadian bangsa Indonesia yang bertanggung jawab,
sadar hak dan kewajiban sebagai warga negara cinta tanah air, agar mampu
menampilkan sikap dan perilaku sebagai wujud Bela Negara.
Upaya
kerjasama antara Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
serta Kwarnas Gerakan Pramuka dalam peningkatan upaya Bela Negara yang selama
ini dirintis merupakan salah satu upaya bersama antar kelembagaan untuk
melakukan pembinaan terhadap generasi muda secara intens. Upaya tersebut harus
sedini mungkin dilakukan guna kesinambungan pembangunan bangsa, karena generasi
muda merupakan tulang punggung bangsa dalam meneruskan tongkat estafet
pembangunan bangsa.
Upaya pembinaan
Kesadaran Bela Negara ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa Bela
Negara selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap
warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab dan rela
berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Dengan demikian bela
negara tidak semestinya dipahami dalam kontruksi hal-hal yang berkaitan dengan
kekuatan militer saja, tetapi juga harus dipahami dalam spektrum yang lebih
luas, sebagai pengembangan kemampuan kehidupan warga negara serta bangsa dan
negara.
Secara umum bela negara dapat dilakukan dengan
dua bentuk yakni bela negara fisik dan bela negara non-fisik. Sebagai kewajiban
warga negara dalam membela negaranya, maka diberikan kebebasan untuk memilih
bentuk bela negara yang mana akan dilaksanakan. Jika merujuk pada makna dan
pengertian dari bentuk-bentuk bela negara yang ada, maka sebagian dari warga
negara kita belum manyadari bahwa aktifitas dalam kehidupannya juga merupakan
bagian dari bentuk bela negara.
Sebagaimana dijelaskan bahwa bela negara fisik adalah bela negara yang dilakukan dengan memanggul senjata
menghadapi serangan atau agresi militer
dari musuh/negara lain. Bela negara ini tentunya dilakukan untuk menghadapi
ancaman dari luar. Bela negara secara fisik dapat dilakukan oleh rakyat terlatih
yang memiliki empat fungsi yakni; fungsi ketertiban umum, fungsi perlindungan
rakyat, fungsi keamanan rakyat dan fungsi perlawanan rakyat.
Fungsi ketertiban umum, fungsi perlindungan
rakyat dan fungsi keamanan rakyat hanya dilakukan pada situasi yang damai atau
pada saat terjadinya bencana alam atau darurat sipil dimana rakyat terlatih
tersebut membantu menangani keamanan dan ketertiban tersebut. Sementara untuk
fungsi perlawanan rakyat hanya dilakukan dalam keadaan darurat perang dimana
rakyat terlatih merupakan unsur bantuan tempur bagi TNI yang terlibat langsung
di medang perang.
Bela Negara Non fisik adalah bela negara dengan meningkatkan kesadaran berbagnsa dan bernegara,
menanamkan kecintaan terhadap bangsa dan tanah air melalui pengabdian yang tulus,
membuat karya-karya nyata, meningkatkan kepatuhan dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan, menjunjung Hak Azasi Manusia, dan yang terpenting
adalah peningkatan mental-spiritual warga negara.
Jadi dapatlah disimpulkan bahwa bela negara
non fisik berarti bela negara yang dilakukan oleh masyarakat sipil tampa
memikul senjata dan saling berhadap-hadapan dengan musuh di medang perang.
Dengan demikian pendidikan kewarganegaraan
menempatkan dirinya pada bentuk upaya pembelaan negara non fisik. Hal inilah
yang tertuang dalam UU Nomor 3 tahun 2002 pasal 9 ayat 2 yang berbunyi ;
“Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. sebagai prajurit Tentara Nasional
Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan
d. pengabdian sesuai dengan profesi”.
Dalam
penjelasan Pasal 37 ayat (1) UURI Nomor 3 Tahun 2003 dijelaskan, bahwa
pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dari uraian di atas,
jelaslah bahwa pembentukan rasa kebangsaan dan cinta tanah air peserta didik
dapat dibina melalui pendidikan kewarganegaraan.
Konsep
rasa kebangsaan dan cinta tanah air sangat berkaitan dengan makna upaya bela
negara. Perhatikan kalimat “…dijiwai oleh kecintaannya kepada negara kesatuan
RI …” pada definisi upaya bela negara yang telah diungkapkan di atas. Kalimat
kecintaan kepada negara kesatuan RI merupakan realisasi dari konsep
nasionalisme (rasa kebangsaan) dan cinta tanah air (patriotisme). Sedangkan
kecintaan kepada tanah air dan kesadaran berbangsa merupakan ciri kesadaran
dalam bela negara. Konsep bela negara adalah konsepsi moral yang
diimplementasikan dalam sikap, perilaku dan tindakan warga negara yang
dilandasi oleh cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, keyakinan
kepada Pancasila sebagai ideologi negara, dan kerelaan berkorban untuk bangsa
dan negara Indonesia. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan bela negara,
pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana untuk membina kesadaran peserta
didik ikut serta dalam pembelaan negara.
Dengan
demikian, pembinaan kesadaran bela negara melalui pendidikan kewarganegaraan
dimaksudkan untuk membina dan meningkatkan usaha pertahanan negara. Pendidikan
kewarganegaraan mendapat tugas untuk menanamkan komitmen kebangsaan, termasuk
mengembangkan nilai dan perilaku demokratis dan bertanggung jawab sebagai warga
negara Indonesia.
Hubungan Pendidikan Kewarganegaraan dengan bela Negara
Dari
penjelasan diatas dapatlah dipahami bahwa hubungan antara Pendidikan
kewarganegaraan dengan bela negara sangat kuat dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Oleh karena itu, penulis memetakan hubungan antara pendidikan
kewarganegaraan dengan bela negara kedalam beberapa bagian diantaranya;
hubungan filosofis, hubungan yuridis dan hubungan edukasi.
Secara filosofis, kehadiran pendidikan kewarganegaraan merupakan kesadaran bersama bahwa
hak dan kewajiban bela negara menjadi tanggung jawab bersama seluruh lapisan
masyarakat Indonesia dari semua ancaman terhadap bangsa dan negara baik itu
sifatnya ancaman dari luar maupun dari dalam negeri, baik ancaman nyata maupun
masih samar-samar.
Bela negara
tidak hanya dilakukan secara fisik oleh militer dan rakyat terlatih, namun
warga sipil juga diberikan ruang bela negara secara non fisik. Bela negara non
fisik melibatkan pendidikan formal dengan kemasan mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan yang menjadi mata pelajaran wajib disemua jenjang pendidikan
mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Secara yuridis, sedemikan pentingnya
pendidikan kewarganegaraan dan bela negara sehingga secara yuridis, pendidikan
kewarganegaraan menjadi materi muatan dari UU Nomor 3 tahun 2002 tentang
pertahanan negara tepatnya pada pasal 9 ayat 2. Memang jika di cermati
pokok-pokok materi pelajaran pendidikan kewarganegaraan, maka keseluruhan
materi tersebut menggambarkan dan menekankan pemahaman pelajar tentang
patriotisme, cinta tanah air dan bangsa, idiologi, konstitusi, demokrasi, HAM,
kedaulatan rakyat, bela negara, otonomi daerah, kebebasan berpendapat, sistem
pemerintahan dan sebagainya. Hal ini
tentunya sesuai dengan unsur-unsur bela negara yaitu :
1.
Cinta Tanah Air
2.
Kesadaran Berbangsa & bernegara.
3.
Yakin akan pancasila sebagai ideologi Negara
4.
Rela berkorban untuk bangsa & Negara
5.
Memiliki kemampuan awal bela Negara
Hubungan edukatif, dalam hubungan ini
bela negara fisik maupun non fisik pada hakekatnya sama-sama mengedepankan
pendidikan sebagai basis utamanya. Olehnya itu dalam
penyelenggaraan pertahanan dan keamanan Negara menganut prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.
Bangsa Indonesia berhak dan wajib
membela serta mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Negara,keutuhan,serta
keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.
2.
Keikutsertaan dalam upaya pertahanan
Negara merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga Negara.
3.
Cinta perdamaian yang
didasarkan kemerdekaan dan kedaulatan,
4.
Menentang segala bentuk penjajahan
dan menganut politik bebas aktif,
5.
Bentuk pertahanan Negara bersifat
semesta yang melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya nasional ( SDM,SDA,dan
Sumber Daya Buatan).dan
6.
Berdasarkan prinsip Demokrasi, HAM, Kesejahteraan Umum, lingkungan
hidup, hukum Nasional dan internasional, serta
prinsip hidup berdampingan.
Langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang
kita harapkan sesuai uraian diatas,yaitu :
1). Pelaksanaan pendidikan sekolah
yang luas dan bermutu, Pendidikan Sekolah mempunyai peran
yang penting karena masa depan sangat ditentukan oleh The Battle of the
Classroom. Fokus dari usaha Pendidikan Sekolah adalah perbaikan mutu
Guru. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan guru yang lebih bermutu,
khususnya pembentukan ahlak dan budi pekerti para Guru
2). Peningkatan
dan perbaikan pendidikan keluarga,
Meskipun Pendidikan Sekolah memberikan pendidikan Agama yang juga berisi
pendidikan budi pekerti, namun kualitas mental dan ahlak anak didik sukar
menjadi tujuan utama Pendidikan Sekolah. Pendidikan Sekolah terutama untuk
meluaskan dan mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi, sekalipun itu disertai
pendidikan rohani dan jasmani yang memadai.
3). Kegiatan
Organisasi pemuda, Pemuda yang aktif, produktif dan
kreatif tidak terwujud hanya dengan rajin belajar ilmu dan menjadi anak baik di
rumah. Anak memerlukan kegiatan untuk mengekspresikan segala yang diperoleh di
sekolah dan rumah agar merasa dirinya mampu berbuat sesuatu yang nyata.
4). Menghidupkan
kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi,
Perkembangan ilmu pengetahuan harus berjalan dalam kehidupan masyarakat dan
tidak terbatas pada Pendidikan Sekolah.
Dengan demikian mempelajari pendidikan
kewarganegaraan, maka kita termasuk telah melakukan upaya pembelaan terhadap
bangsa dan negara sejak dini, meskipun tidak secara langsung ikut berperang
berhadapan dengan musuh dimedan perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar