Kamis, 07 Maret 2019

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN; Dalam Tinjauan Bela Negara Menurut UU No. 3 Tahun 2002

 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN; Dalam Tinjauan Bela Negara Menurut UU No. 3 Tahun 2002



Oleh ; Ahmad Abni, S.Pd
(Guru PKn pada MTS Negeri Gantarang Kab. Bantaeng)

Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang merdeka dari segala bentuk penjajahan, tekanan dan intimidasi dari Negara lain, baik dari penjajahan secara politik-pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, tekhnologi dan sebagainya. Berdaulat sepenuhnya berarti bukan hanya sebatas mampu bebas dari tekanan dan intimidasi sebagaimana disebutkan diatas, akan tetapi bagaimana seluruh warga Negara memperlakukan negaranya sendiri setelah bebas demi tercapainya perubahan dan kemajuan.
Pada hakekatnya semua bangsa dan Negara di dunia menghendaki adanya perubahan dan kemajuan. Untuk mewujudkan hal tersebut, masing-masing Negara mempunyai strategi dan cara sendiri. Namun hal yang mestinya menjadi perhatian bagi setiap Negara yang sementara berkembang dan maju adalah bagaimana negaranya dapat terlindungi dan terjaga sehingga perubahan dan kemajuan yang diperoleh selama ini dapat terpelihara dengan baik. Untuk itulah, diperlukan pemahaman bela Negara yang komprehensip bagi seluruh rakyat.
Dalam konteks Negara Indonesia, bela Negara merupakan hak dan kewajiban bagi setiap warga Negara, sebagaimana diatur di dalam konstitusi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 27 ayat 3 yang berbunyi;
“setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara”.

Lebih lanjut dalam pasal 30 ayat 1 menyatakan bahwa ;
tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara”.

Mengingat hal tersebut diatas, maka pemerintah Indonesia senantiasa memperbaharui regulasi yang berkaitan dengan bela Negara. 
Undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan Negara merupakan regulasi terbaru yang menjadi acuan segenap warga Negara dalam melakukan upaya pembelaan Negara Indonesia. Pada dasarnya undang-undang ini fokus perhatiannya adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan utama pertahanan Negara. Namun hal yang menarik dari undang-undang ini adalah diberikannya peluang bagi setiap warga Negara sebagai komponen pendukung dan komponen cadangan untuk turut ambil bagian dalam upaya Pembelaan Negara.
Dalam pasal 9 ayat 2 disebutkan bahwa keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui:
a.       pendidikan kewarganegaraan;
b.      pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c.       pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan
d.      pengabdian sesuai dengan profesi   
Sejalan dengan hal tersebut, pembekalan pemahaman bela Negara terhadap generasi muda bangsa Indonesia juga merupakan tanggung jawab dari lembaga pendidikan formal. Oleh karena itu meskipun kurikulum senantiasa berubah, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan tidak pernah hilang dalam setiap struktur kurikulum mulai dari pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. 
Pendidikan merupakan upaya strategis dalam pembentukan sistem nilai yang ada dalam diri seseorang, kaitannya dengan perwujudan harkat dan martabat sebagai manusia sesuai dengan tatanan kehidupan masyarakat yang melingkupinya. Dengan perkataan lain pendidikan harus senantiasa di arahkan pada upaya peningkatan kesadaran dan harkat serta martabat seseorang baik selaku pribadi, anggota masyarakat maupun sebagai suatu bangsa. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa materi pelajaran yang disampaikan dalam kurikulum persekolahan tidak semata-mata untuk pengetahuan (intelektual), melainkan perlu direalisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku nyata sehari-hari, sesuai dengan hakikat dan potensi manusia itu sendiri yang bersifat utuh.
Nursid Sumaatmadja menjelaskan bahwa keutuhan manusia itu bukan hanya pada sosok jasmaninya seperti makhluk hidup lainnya melainkan juga meliputi aspek akhlak, moral, dan tanggung jawab seperti khalifah dimuka bumi. Disinilah letak kewajiban keterpaduan antara pendidikan intelektual dengan keterampilan dan pendidikan umum.
Sebagaimana maksud tersebut diatas maka Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi. Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 37 ayat 1 bahwa “pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebanggan dan cinta tanah air”.
Materi pelajaran ini berusaha untuk membina perkembangan peserta didik untuk menjadi warga Negara yang mengetahui dan memahami situasi-kondisi bangsa dan negaranya yang selanjutnya dapat bertanggung jawab terhadap diri pribadinya, keluarganya, masyarakatnya, bangsa dan negaranya bahkan tanggung jawabnya sebagai masyarakat dunia.
Penulis tertarik untuk menggali hubungan antara pendidikan kewarganegaraan pada jenjang pendidikan formal dengan pendidikan kewarganegaraan yang dimaksud dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan Negara utamanya pada pasal 9 ayat 2 poin (a). Olehnya itu penulis merumuskan kajian tersebut dengan judul “PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN; Dalam Tinjauan Bela Negara Menurut UU No. 3 Tahun 2002”.


Selayang Pandang Pendidikan Kewarganegaraan

            Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu, anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Winataputra, PKn sebagai kajian ilmu kependidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis, dan religious serta memiliki karakteristik yang multi dimensional, perlu dilihat dalam tiga kependudukan. Pertama, PKn sebagai suatu kajian mengenai “civic virtue” dan “civic culture” yang menjadi landasan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler dan gerakan sosial budaya kewarganegaraan. Kedua, PKn sebagai program kurikuler memiliki visi dan misi pengembangan kualitas warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius baik dalam latar pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah, yang berfungsi sebagai dasar orientasi dari keseluruhan upaya akademis untuk memahami fenomena dan masalah-masalah sosial secara interdisipliner, sehingga siswa dapat mengambil keputusan yang jernih dan bernalar serta bermanfaat yang sebesar-besarnya bagi individu, masyarakat, bangsa dan negara. Ketiga, PKn sebagai gerakan sosial budaya kewarganegaraan yang sinergistik dilakukan dalam upaya membangun “civic virtue” dan “civic culture” melalui partisipatif aktif secara cerdas, demokratis, dan religious dalam lingkungannya.
Secara hisoris Pendidikan Kewarganegaraan pertama kali muncul sebagai mata pelajaran dalam pendidikan formal pada tahun 1957 dengan nama Kewarganegaraan (civics). Materi isi dari mata pelajaran ini hanya sebatas tentang hak dan kewajiban warga Negara serta bagaimana cara dalam memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kondisi bangsa Indonesia saat itu masih belum sepenuhnya stabil.
            Perkembangan selanjutnya, mata pelajaran ini tentunya sangat dipengaruhi oleh pergumulan politik yang ada di Indonesia sendiri. Pada tahun 1961 pelajaran kewarganegaraan berubah menjadi mata pelajaran civics. Perubahan ini dilatari oleh tindak lanjut keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959 dimana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan No. 122274/S tanggal 10 Desember 1959 tentang pemebentukan panitia penyusunan buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban dan hak-hak warga Negara Indonesia, sejarah dan tujuan revolusi Indonesia. Panitia ini berhasil menyusun buku Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia. Buku inilah yang menjadi acuan dasar dari pelajaran civics di sekolah-sekolah. Dari segi sajian materinya sudah jauh lebih luas dari sebelumnya yakni dengan memuat sejarah pergerakan Indonesia, Pancasila, UUD 1945, Demokrasi dan Ekonomi terpimpin, Konferensi Asia Afrika, Hak Kewarganegaraan, manifesto politik, laksana malaikat (dekrit presiden), pidato lahirny Pancasila, pancawardana, hak azasi manusia, dan pidato-pidato Presiden yang dipaketkan dalam Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (tubapi).
            Setelah lahirnya Orde Baru pada tahun 1966, pelajaran civics berubah menjadi Pendidikan Kewargaan Negara (PKN). Perubahan ini sepenuhya menafikan materi pelajaran sebelumnya karena dianggap bahwa materi-materi pelajaran civics sangat tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan yang ada. Secara formal mata pelajaran Kewargaan Negara dimasukkan kedalam kurikulum tahun 1968 dengan materinya yakni Pancasila dan UUD 1945 serta Ketetapan-ketetapan MPRS 1966, 1967 dan 1968, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Hak Azasi Manusia (HAM), serta beberapa materi yang beraspek sejarah, geografi, dan Ekonomi.
            Pada tahun 1973 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan TAP MPR No. IV/MPR/1973 yang menjadi dasar perubahan selanjutnya. Sebagai amanat dari ketetapan tersebut maka berakibat berubahnya pelajaran Kewargaan Negara menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dimuat dalam kurikulum 1975. Pokok kajiannya sangat dominan membahasa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang dikenal dengan singkatan P-4. Indoktrinasi P-4 berlangsung cukup lama bahkan telah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui pendidikan formal. Perubahan kurikulum tahun 1975 menjadi kurikulum 1984, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) masih tetap dipertahankan         
            Berlakunya Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional diperkenakanlah mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang merupakan persiapan untuk diberlakukan secara formal di perubahan kurikulum 1994. Sebagaimana disebutkan pada pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jejang pendidikan di Indonesia Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Pada hakekatnya substansi Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan memiliki arah yang sama oleh karenanya digabung  dan lahirlah dengan nama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Perubahan ini didasari oleh pemikiran bahwa indoktrinasi nilai-nilai Pancasila disekolah-sekolah dan penataran P-4 di masyarakat belum sepenuhnya memuaskan. Terlebih lagi pola pemikiran masyarakat Indonesia yang telah menunjukkan adanya kesadaran akan hak politiknya. Setelah kurikulum 1994 diberlakukan secara sah, Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mulai diajarkan di sekolah-sekolah.  
Perkembangan selanjutnya materi P-4 tidak lagi menjadi muatan utama dalam suplemen kurikulum tahun 1999 setelah dicabutnya ketetapan MPR No. II/MPR/1978. Materi muatan pelajaran PPKn lebih cenderung ingin menanamkan konsep nilai-nilai Pancasila melalui pemahaman terhadap butir-butir setiap sila Pancasila. Bahkan lebih dari sekedar penanaman melalui pemahaman, butir-butir dari sila Pancasila harus bisa menjadi pedoman berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menjadi dasar yuridis perubahan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) menjadi Pendidikan Kewarganegraan (PKn) pada kurikulum 2004.
Dalam pelaksanaannnya di sekolah-sekolah sering sekali terjadi kesalahan dalam penulisan singkatan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Kesalahan ini secara sering dilakukan tampa disadari. Sering kali Pendidikan Kewarganegaraan disingkat dengan tulisan PKN atau KWN yang seharusnya singkatan yang benar adalah PKn. Sementara ada perbedaan mendasar antara singkatan “PKN” dengan “PKn”.
Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) identik dengan istilah civic/warga negara, yaitu mata pelajaran yang bertujuan membentuk atau membina kewarganegara yang baik, warga Negara yang tahu, mau sadar akan hak dan kewajibannya. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk sikap, prilaku dan perbuatan yang baik.
Menurut Penulis, istilah PKN lebih merujuk kepada Pendidikan Kewargaan Negara (PKN). Sementara istilah PKN hanya pernah berlaku pada kurikulum tahun 1968 yang tentunya berbeda dengan kurikulum 2004. Istilah PKN yang secara teknis diartikan sebagai status formal warga Negara sedangkan istilah PKn dapat diartikan menjadi hal-hal yang berkenaan dengan Warga Negara, yang tentunya termasuk status formal warga Negara disamping itu dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran warga Negara warga agar menyadari akan hak dan kewajibannya. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk sikap, prilaku dan perbuatan yang baik.   

Posisi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam UU No. 3 tahun 2002

Penanaman nilai-nilai Bela Negara yang diselenggarakan pada jalur formal melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki posisi yang trategis, karena pada umumnya pendidikan formal dapat mempengaruhi sikap siswa yang masih polos.
Pelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang paling relevan untuk dikembangkan dalam mengintegrasikan nilai-nilai Bela Negara. Penanaman nilai-nilai Bela Negara pada masa remaja, merupakan upaya membangun dan membentuk sistem nilai, sikap dan perilaku generasi muda. Dengan demikian diharapkan tercipta generasi yang memiliki jati diri, kepribadian dan berkarakter yang tangguh, sebagai pembentuk kepribadian bangsa Indonesia yang bertanggung jawab, sadar hak dan kewajiban sebagai warga negara cinta tanah air, agar mampu menampilkan sikap dan perilaku sebagai wujud Bela Negara.
Upaya kerjasama antara Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kwarnas Gerakan Pramuka dalam peningkatan upaya Bela Negara yang selama ini dirintis merupakan salah satu upaya bersama antar kelembagaan untuk melakukan pembinaan terhadap generasi muda secara intens. Upaya tersebut harus sedini mungkin dilakukan guna kesinambungan pembangunan bangsa, karena generasi muda merupakan tulang punggung bangsa dalam meneruskan tongkat estafet pembangunan bangsa.
Upaya pembinaan Kesadaran Bela Negara ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa Bela Negara selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Dengan demikian bela negara tidak semestinya dipahami dalam kontruksi hal-hal yang berkaitan dengan kekuatan militer saja, tetapi juga harus dipahami dalam spektrum yang lebih luas, sebagai pengembangan kemampuan kehidupan warga negara serta bangsa dan negara.
Secara umum bela negara dapat dilakukan dengan dua bentuk yakni bela negara fisik dan bela negara non-fisik. Sebagai kewajiban warga negara dalam membela negaranya, maka diberikan kebebasan untuk memilih bentuk bela negara yang mana akan dilaksanakan. Jika merujuk pada makna dan pengertian dari bentuk-bentuk bela negara yang ada, maka sebagian dari warga negara kita belum manyadari bahwa aktifitas dalam kehidupannya juga merupakan bagian dari bentuk bela negara.
Sebagaimana dijelaskan bahwa bela negara fisik adalah bela negara yang dilakukan dengan memanggul senjata menghadapi serangan atau  agresi militer dari musuh/negara lain. Bela negara ini tentunya dilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Bela negara secara fisik dapat dilakukan oleh rakyat terlatih yang memiliki empat fungsi yakni; fungsi ketertiban umum, fungsi perlindungan rakyat, fungsi keamanan rakyat dan fungsi perlawanan rakyat.
Fungsi ketertiban umum, fungsi perlindungan rakyat dan fungsi keamanan rakyat hanya dilakukan pada situasi yang damai atau pada saat terjadinya bencana alam atau darurat sipil dimana rakyat terlatih tersebut membantu menangani keamanan dan ketertiban tersebut. Sementara untuk fungsi perlawanan rakyat hanya dilakukan dalam keadaan darurat perang dimana rakyat terlatih merupakan unsur bantuan tempur bagi TNI yang terlibat langsung di medang perang.
Bela Negara Non fisik adalah bela negara dengan meningkatkan kesadaran berbagnsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap bangsa dan tanah air melalui pengabdian yang tulus, membuat karya-karya nyata, meningkatkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, menjunjung Hak Azasi Manusia, dan yang terpenting adalah peningkatan mental-spiritual warga negara.
Jadi dapatlah disimpulkan bahwa bela negara non fisik berarti bela negara yang dilakukan oleh masyarakat sipil tampa memikul senjata dan saling berhadap-hadapan dengan musuh di medang perang.
Dengan demikian pendidikan kewarganegaraan menempatkan dirinya pada bentuk upaya pembelaan negara non fisik. Hal inilah yang tertuang dalam UU Nomor 3 tahun 2002 pasal 9 ayat 2  yang berbunyi ;
“Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan
d. pengabdian sesuai dengan profesi”.

Dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) UURI Nomor 3 Tahun 2003 dijelaskan, bahwa pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pembentukan rasa kebangsaan dan cinta tanah air peserta didik dapat dibina melalui pendidikan kewarganegaraan.
Konsep rasa kebangsaan dan cinta tanah air sangat berkaitan dengan makna upaya bela negara. Perhatikan kalimat “…dijiwai oleh kecintaannya kepada negara kesatuan RI …” pada definisi upaya bela negara yang telah diungkapkan di atas. Kalimat kecintaan kepada negara kesatuan RI merupakan realisasi dari konsep nasionalisme (rasa kebangsaan) dan cinta tanah air (patriotisme). Sedangkan kecintaan kepada tanah air dan kesadaran berbangsa merupakan ciri kesadaran dalam bela negara. Konsep bela negara adalah konsepsi moral yang diimplementasikan dalam sikap, perilaku dan tindakan warga negara yang dilandasi oleh cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, keyakinan kepada Pancasila sebagai ideologi negara, dan kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan bela negara, pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana untuk membina kesadaran peserta didik ikut serta dalam pembelaan negara.
Dengan demikian, pembinaan kesadaran bela negara melalui pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membina dan meningkatkan usaha pertahanan negara. Pendidikan kewarganegaraan mendapat tugas untuk menanamkan komitmen kebangsaan, termasuk mengembangkan nilai dan perilaku demokratis dan bertanggung jawab sebagai warga negara Indonesia.

Hubungan Pendidikan Kewarganegaraan dengan bela Negara

Dari penjelasan diatas dapatlah dipahami bahwa hubungan antara Pendidikan kewarganegaraan dengan bela negara sangat kuat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, penulis memetakan hubungan antara pendidikan kewarganegaraan dengan bela negara kedalam beberapa bagian diantaranya; hubungan filosofis, hubungan yuridis dan hubungan edukasi.
Secara filosofis, kehadiran pendidikan kewarganegaraan merupakan kesadaran bersama bahwa hak dan kewajiban bela negara menjadi tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat Indonesia dari semua ancaman terhadap bangsa dan negara baik itu sifatnya ancaman dari luar maupun dari dalam negeri, baik ancaman nyata maupun masih samar-samar.
Bela negara tidak hanya dilakukan secara fisik oleh militer dan rakyat terlatih, namun warga sipil juga diberikan ruang bela negara secara non fisik. Bela negara non fisik melibatkan pendidikan formal dengan kemasan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang menjadi mata pelajaran wajib disemua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Secara yuridis, sedemikan pentingnya pendidikan kewarganegaraan dan bela negara sehingga secara yuridis, pendidikan kewarganegaraan menjadi materi muatan dari UU Nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara tepatnya pada pasal 9 ayat 2. Memang jika di cermati pokok-pokok materi pelajaran pendidikan kewarganegaraan, maka keseluruhan materi tersebut menggambarkan dan menekankan pemahaman pelajar tentang patriotisme, cinta tanah air dan bangsa, idiologi, konstitusi, demokrasi, HAM, kedaulatan rakyat, bela negara, otonomi daerah, kebebasan berpendapat, sistem pemerintahan dan sebagainya.  Hal ini tentunya sesuai dengan unsur-unsur bela negara yaitu :
1.    Cinta Tanah Air
2.    Kesadaran Berbangsa & bernegara.
3.    Yakin akan pancasila sebagai ideologi Negara
4.    Rela berkorban untuk bangsa & Negara
5.    Memiliki kemampuan awal bela Negara

Hubungan edukatif, dalam hubungan ini bela negara fisik maupun non fisik pada hakekatnya sama-sama mengedepankan pendidikan sebagai basis utamanya. Olehnya itu dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan Negara menganut prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.      Bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Negara,keutuhan,serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.
2.      Keikutsertaan dalam upaya pertahanan Negara merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga Negara.
3.      Cinta perdamaian yang didasarkan  kemerdekaan dan kedaulatan,
4.      Menentang segala bentuk penjajahan dan menganut politik bebas aktif,
5.      Bentuk pertahanan Negara bersifat semesta yang melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya nasional ( SDM,SDA,dan Sumber Daya Buatan).dan
6.      Berdasarkan prinsip Demokrasi, HAM, Kesejahteraan Umum, lingkungan hidup, hukum Nasional dan internasional, serta prinsip hidup berdampingan.
Langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang kita harapkan sesuai uraian diatas,yaitu :
1).     Pelaksanaan pendidikan sekolah yang luas dan bermutu, Pendidikan Sekolah mempunyai peran yang penting karena masa depan sangat ditentukan oleh The Battle of the Classroom. Fokus dari usaha Pendidikan Sekolah adalah perbaikan mutu Guru. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan guru yang lebih bermutu, khususnya pembentukan ahlak dan budi pekerti para Guru
2).     Peningkatan dan perbaikan pendidikan keluarga, Meskipun Pendidikan Sekolah memberikan pendidikan Agama yang juga berisi pendidikan budi pekerti, namun kualitas mental dan ahlak anak didik sukar menjadi tujuan utama Pendidikan Sekolah. Pendidikan Sekolah terutama untuk meluaskan dan mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi, sekalipun itu disertai pendidikan rohani dan jasmani yang memadai.
3).     Kegiatan Organisasi pemuda, Pemuda yang aktif, produktif dan kreatif tidak terwujud hanya dengan rajin belajar ilmu dan menjadi anak baik di rumah. Anak memerlukan kegiatan untuk mengekspresikan segala yang diperoleh di sekolah dan rumah agar merasa dirinya mampu berbuat sesuatu yang nyata.
4). Menghidupkan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, Perkembangan ilmu pengetahuan harus berjalan dalam kehidupan masyarakat dan tidak terbatas pada Pendidikan Sekolah.

Dengan demikian mempelajari pendidikan kewarganegaraan, maka kita termasuk telah melakukan upaya pembelaan terhadap bangsa dan negara sejak dini, meskipun tidak secara langsung ikut berperang berhadapan dengan musuh dimedan perang.

Tidak ada komentar: