Senin, 04 Maret 2019

Bayang-bayang Kerinduan Surgawi Yang Keliru

Bayang-bayang Kerinduan Surgawi
Oleh : Ahmad Abni
(Guru Madrasah Tsanawiyah Negeri Gantarang Bantaeng)


Menurut Sigmun Freud (dalam Psikologi Kematian; Komaruddin Hidayat, 2013) mengatakan bahwa setiap orang dalam bawah sadarnya menyimpan kerinduan yang mendalam akan pengalaman indah yang hilang yakni ketenangan hidup di alam rahim. Sedemikian dalamnya kerinduan masa lalu itu sehingga memberikan beban kejiwaan yang amat berat tak terhapuskan. Sebagai gantinya, manusia selalu mencari kesenangan-kesenangan dan membangun imajinasi surgawi dalam hidupnya yang menurut istilah Komaruddin hidayat disebut  “subsitusi dan kompensasi kerinduan”.
            Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa manusia itu paling takut kehilangan sesuatu apapun itu. Pejabat takut kehilangan pangkat dan jabatannya, karyawan takut pemutusan hubungan kerja (PHK), manusia takut kelaparan dan kekeringan, orang kaya takut miskin, pengusaha takut bangkrut, manusia takut mati serta masih banyak lagi ketakutan-ketakutan lain. Memelihara ketakutan-ketakutan pada dasarnya telah membangun bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru.
            Dalam konteks politik kenegaraan kita di Indonesia, tidak sedikit kita jumpai banyak manusia yang membangun bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru. Sebut saja, memburuknya citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang dapat dinilai dari fungsi legislasi yang baru melahirkan 3 (tiga) undang-undang dari 37 (tiga pulu tujuh) Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sudah ditetapkan. Menurut Ishak Ngeljaratan, perjuangan wakil rakyat di Senanayan lebih bercorak retorika yang sarat dengan kepentingan, baik kepentingan partai politik maupun koalisi. Para politisi kita sepenuhnya tidak dapat menarik diri dari kepentingan partai dan koalisi untuk menjadi negarawan sejati sepanjang “ketakutan” pada partai pengusung belum hilang. Lihat saja kasus yang pernah santer di media tentang partai yang kadernya berdiri di dua tempat yang berbeda, parlemen dan kabinet. Dalam kasus ini tentu kita semua bertanya-tanya, siapa yang sesungguhnya  diselimuti bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru itu?
            Dilain sisi, masih segar di ingatan kita, beberapa partai politik kembali mendukung perlunya revisi undang-undang (UU) nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan untuk memperkuat perannya. Namun sesungguhnya menurut Indonesian Corruption Watch, merevisi UU KPK hanya akan melemahkan eksistensi KPK. Meski tahun ini DPR batal merevisi UU KPK tetapi sebenarnya tetap menjadi bom waktu karena akan tetap dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Kita perlu menaruh curiga kepada partai-partai pendukung itu, jagan-jangan mereka juga sudah diselimuti “ketakutan” akan kekuatan KPK yang memang sudah kuat dan tidak usah “dikuat-kuatkan”. Atau mereka tertidur dari tahun 2003 – semenjak KPK didirikan dan baru sadar setelah banyak pejabat yang dihotel prodeokan. Mereka baru siuman bahwa selama ini aturan yang dibuat merupakan perangkap untuk dirinya sendiri.
            Perilaku koruptif juga merupakan bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru. Saat berlimpah harta, kesenangan dan kebahagiaan sudah pasti ada meski dari hasil yang tidak halal, namun disaat yang bersamaan pula manusia berada pada keadaan batin yang tidak tenang. Pikiran dan hati senantiasa akan diganggu oleh perasaan bersalah, takut ketahuan, selalu khawatir jika suatu saat kesalahannya itu akan terbongkar sehingga berlindung dibalik tirai pencitraan. 
Sementara dalam filosofi Samurai Pengasih, tidak sedikitpun mengenal kerinduan surgawi yang keliru. Brian Klammer (dalam Commpassionate Samurai,2010) sangat gamblang mendeskripsikan bahwa seorang samurai pengasih akan tetap melaksanakan komitmennya entah itu terasa menyenangkan atau tidak. Komitmen adalah dasar kepercayaan yang merupakan fondasi bagi semua hubungan. Karena itu, melanggar komitmen berarti menghancurkan kepercayaan. Melanggar komitmen dengan mencari-cari alasan pembenar adalah bentuk ketidak jujuran.
Ada baiknya kita menghapus bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru itu dengan banyak keberanian. Menjadi samurai pengasih sebagaimana Nelson Mandela yang berani meninggalkan kebebasan ragawinya selama 27 tahun masa hidupnya dalam penjara di Afrika Selatan untuk membebaskan negerinya dari kolonialisasi. Begitu pun tokoh-tokoh nasional seperti Jenderal Sudirman yang berani bergerilya mempertahankan NKRI dari agresi Belanda.
Dalam hukum dasar negara kita, sebenarnya sejak awal pembentukan negara ini, para Founding Father kita telah berupaya meminimalisir bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru itu bahkan lengkaplah sudah setelah konstitusi kita diamandemen dengan membatasi masa kekuasaan Presiden sebanyak 2 periode begitu juga dengan kepala-kepala daerah. Pengalaman pahit di masa lampau sudah cukup memberikan pelajaran kepada bangsa ini, jika kekuasaan sudah dalam genggaman berat rasanya untuk dilepaskan. Lima tahun jika amanah digunakan maksimal maka bukan tidak mungkin periode selanjutnya dapat terpilih kembali. Sudah banyak fakta yang membuktikannya,  salah satunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004 – 2009 dan terpilih kembali pada periode berikutnya yakni 2009 – 2014. Begitupun pada tataran kepala daerah, tidak sedikit yang terpilih kembali karena fermorma kerja yang dirasakan langsung oleh rakyat sebagai grass roots.
Wacana penerapan penggajian PNS dengan Single Salary System, juga adalah bagian dari upaya meminimalisir bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru bagi PNS. Pada sitem ini gaji PNS akan disesuaikan dengan capaian kinerjanya, berbeda jauh dengan sistem penggajian yang selama ini berjalan yang menyama-ratakan pegawai malas dengan rajin, berkinerja rendah dengan berkinerja tinggi. Menurut Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, dengan penerapan sistem ini maka konsep keadilan dapat tercapai dikalangan PNS. PNS yang berkinerja bagus tentu tidak boleh disamakan lagi dengan yang jelek ferformanya. Besaran tunjangan kinerja dipengaruhi oleh seberapa cepat dan murah PNS mengejar target yang ditetapkan. Tentu terlebih dahulu menyusun Sasaran Kinerja Pegawai (SKP).
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti rasuah juga merupakan bentuk menekan kerinduan surgawi yang keliru. Sejak berdirinya sampai sekarang, lembaga ini tidak pernah sepi dari perhatian semua kalangan, baik itu sifatnya dukungan maupun yang menginginkan KPK lenyap. Meski pimpinan-pimpinannya yang seberani Antasari Azhar dan Abraham Samad berhasil disingkirkan, negeri ini tidak akan kehabisan generasi Samurai Pengasih.  
Akhirnya, dalam kehidupan di dunia ini kita akan selalu berhadapan dengan bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru, baik itu kita ciptakan sendiri maupun yang dibangun oleh sistem. Subsitusi kerinduan surgawi yang tepat adalah kerinduan kepada Sang Pencipta. Tak ada suasana batin yang paling tenang dan membahagiakan kecuali pada saat berdoa dan merasakan keintiman dengan Sang Pencipta. Jika demikian adanya, maka orientasi kehidupan di dunia ini apapun profesi kita baik itu kepala negara, politisi, pengacara, seniman, wartawan, pengusaha, pegawai dan karyawan, petani ataupun nelayan, akan terarah kepada pengabdian dan pengharapan ridhoh-Nya. Semua yang kita miliki hanyalah sebagai fasilitas, mulai dari harta, jabatan, pekerjaan, keluarga dan bahkan ilmu yang jika tidak menghasilkan amal kebaikan, berarti kita telah tertipu oleh bayang-bayang kerinduan surgawi. Wallahu a’lam bissawab.****

Tidak ada komentar: