Bayang-bayang Kerinduan SurgawiOleh : Ahmad Abni(Guru Madrasah Tsanawiyah Negeri Gantarang Bantaeng)
Menurut
Sigmun Freud (dalam Psikologi Kematian; Komaruddin Hidayat, 2013) mengatakan
bahwa setiap orang dalam bawah sadarnya menyimpan kerinduan yang mendalam akan
pengalaman indah yang hilang yakni ketenangan hidup di alam rahim. Sedemikian
dalamnya kerinduan masa lalu itu sehingga memberikan beban kejiwaan yang amat
berat tak terhapuskan. Sebagai gantinya, manusia selalu mencari
kesenangan-kesenangan dan membangun imajinasi surgawi dalam hidupnya yang
menurut istilah Komaruddin hidayat disebut
“subsitusi dan kompensasi kerinduan”.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
manusia itu paling takut kehilangan sesuatu apapun itu. Pejabat takut
kehilangan pangkat dan jabatannya, karyawan takut pemutusan hubungan kerja
(PHK), manusia takut kelaparan dan kekeringan, orang kaya takut miskin, pengusaha
takut bangkrut, manusia takut mati serta masih banyak lagi ketakutan-ketakutan
lain. Memelihara ketakutan-ketakutan pada dasarnya telah membangun bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru.
Dalam konteks politik kenegaraan
kita di Indonesia, tidak sedikit kita jumpai banyak manusia yang membangun bayang-bayang kerinduan surgawi
yang keliru. Sebut saja, memburuknya citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang dapat dinilai dari fungsi legislasi
yang baru melahirkan 3 (tiga) undang-undang dari 37 (tiga pulu tujuh) Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sudah ditetapkan. Menurut
Ishak Ngeljaratan, perjuangan wakil rakyat di Senanayan lebih bercorak retorika
yang sarat dengan kepentingan, baik kepentingan partai politik maupun koalisi. Para
politisi kita sepenuhnya tidak dapat menarik diri dari kepentingan partai dan
koalisi untuk menjadi negarawan sejati sepanjang “ketakutan” pada partai pengusung
belum hilang. Lihat saja kasus yang pernah santer di media tentang partai yang
kadernya berdiri di dua tempat yang berbeda, parlemen dan kabinet. Dalam kasus
ini tentu kita semua bertanya-tanya, siapa yang sesungguhnya diselimuti bayang-bayang kerinduan surgawi
yang keliru itu?
Dilain sisi, masih segar di ingatan kita,
beberapa partai politik kembali mendukung perlunya revisi undang-undang (UU) nomor
30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan untuk memperkuat perannya. Namun sesungguhnya
menurut Indonesian Corruption Watch, merevisi UU KPK hanya akan melemahkan eksistensi KPK. Meski tahun
ini DPR batal merevisi UU KPK tetapi sebenarnya tetap menjadi bom waktu karena
akan tetap dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Kita perlu
menaruh curiga kepada partai-partai pendukung itu, jagan-jangan mereka juga
sudah diselimuti “ketakutan” akan kekuatan KPK yang memang sudah kuat dan tidak
usah “dikuat-kuatkan”. Atau mereka tertidur dari tahun 2003 – semenjak KPK
didirikan dan baru sadar setelah banyak pejabat yang dihotel prodeokan. Mereka
baru siuman bahwa selama ini aturan yang dibuat merupakan perangkap untuk
dirinya sendiri.
Perilaku koruptif juga merupakan
bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru. Saat berlimpah harta, kesenangan
dan kebahagiaan sudah pasti ada meski dari hasil yang tidak halal, namun disaat
yang bersamaan pula manusia berada pada keadaan batin yang tidak tenang. Pikiran
dan hati senantiasa akan diganggu oleh perasaan bersalah, takut ketahuan,
selalu khawatir jika suatu saat kesalahannya itu akan terbongkar sehingga berlindung
dibalik tirai pencitraan.
Sementara
dalam filosofi Samurai Pengasih, tidak sedikitpun mengenal kerinduan surgawi
yang keliru. Brian Klammer (dalam Commpassionate Samurai,2010) sangat gamblang
mendeskripsikan bahwa seorang samurai pengasih akan tetap melaksanakan
komitmennya entah itu terasa menyenangkan atau tidak. Komitmen adalah dasar
kepercayaan yang merupakan fondasi bagi semua hubungan. Karena itu, melanggar
komitmen berarti menghancurkan kepercayaan. Melanggar komitmen dengan
mencari-cari alasan pembenar adalah bentuk ketidak jujuran.
Ada
baiknya kita menghapus bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru itu dengan banyak
keberanian. Menjadi samurai pengasih sebagaimana Nelson Mandela yang berani
meninggalkan kebebasan ragawinya selama 27 tahun masa hidupnya dalam penjara di
Afrika Selatan untuk membebaskan negerinya dari kolonialisasi. Begitu pun
tokoh-tokoh nasional seperti Jenderal Sudirman yang berani bergerilya
mempertahankan NKRI dari agresi Belanda.
Dalam hukum dasar negara kita, sebenarnya sejak awal pembentukan negara ini, para Founding Father kita telah berupaya meminimalisir bayang-bayang kerinduan surgawi yang
keliru itu bahkan lengkaplah sudah setelah konstitusi kita diamandemen dengan membatasi masa kekuasaan Presiden sebanyak 2 periode begitu juga
dengan kepala-kepala daerah. Pengalaman pahit di masa lampau sudah cukup
memberikan pelajaran kepada bangsa ini, jika kekuasaan sudah dalam genggaman
berat rasanya untuk dilepaskan. Lima tahun jika amanah digunakan maksimal maka
bukan tidak mungkin periode selanjutnya dapat terpilih kembali. Sudah banyak
fakta yang membuktikannya, salah satunya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004 – 2009 dan terpilih kembali pada
periode berikutnya yakni 2009 – 2014. Begitupun pada tataran kepala daerah,
tidak sedikit yang terpilih kembali karena fermorma kerja yang dirasakan
langsung oleh rakyat sebagai grass roots.
Wacana
penerapan penggajian PNS dengan Single
Salary System, juga adalah bagian dari upaya meminimalisir bayang-bayang
kerinduan surgawi yang keliru bagi PNS. Pada sitem ini gaji PNS akan
disesuaikan dengan capaian kinerjanya, berbeda jauh dengan sistem penggajian
yang selama ini berjalan yang menyama-ratakan pegawai malas dengan rajin, berkinerja
rendah dengan berkinerja tinggi. Menurut Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN)
Bima Haria Wibisana, dengan penerapan sistem ini maka konsep keadilan dapat
tercapai dikalangan PNS. PNS yang berkinerja bagus tentu tidak boleh disamakan
lagi dengan yang jelek ferformanya. Besaran tunjangan kinerja dipengaruhi oleh
seberapa cepat dan murah PNS mengejar target yang ditetapkan. Tentu terlebih
dahulu menyusun Sasaran Kinerja Pegawai (SKP).
Pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti rasuah juga merupakan
bentuk menekan kerinduan surgawi yang keliru. Sejak berdirinya sampai sekarang,
lembaga ini tidak pernah sepi dari perhatian semua kalangan, baik itu sifatnya
dukungan maupun yang menginginkan KPK lenyap. Meski pimpinan-pimpinannya yang
seberani Antasari Azhar dan Abraham Samad berhasil disingkirkan, negeri ini tidak
akan kehabisan generasi Samurai Pengasih.
Akhirnya, dalam kehidupan di dunia ini kita akan
selalu berhadapan dengan bayang-bayang kerinduan surgawi yang keliru, baik itu
kita ciptakan sendiri maupun yang dibangun oleh sistem. Subsitusi kerinduan
surgawi yang tepat adalah kerinduan kepada Sang Pencipta. Tak ada suasana batin
yang paling tenang dan membahagiakan kecuali pada saat berdoa dan merasakan
keintiman dengan Sang Pencipta. Jika demikian adanya, maka orientasi kehidupan
di dunia ini apapun profesi kita baik itu kepala negara, politisi, pengacara,
seniman, wartawan, pengusaha, pegawai dan karyawan, petani ataupun nelayan, akan
terarah kepada pengabdian dan pengharapan ridhoh-Nya. Semua yang kita miliki
hanyalah sebagai fasilitas, mulai dari harta, jabatan, pekerjaan, keluarga dan
bahkan ilmu yang jika tidak menghasilkan amal kebaikan, berarti kita telah
tertipu oleh bayang-bayang kerinduan surgawi. Wallahu a’lam bissawab.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar